Ketika seorang anak sedari kecil sudah mengalami tekanan dari lingkungan sekitar, mereka akan tumbuh menjadi sosok pribadi Neurosis. Kondisi ini merujuk pada ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stres, dan menjadikan mereka pribadi yang sangat sulit sekali untuk mengontrol emosi.
"Ketika seorang anak mendapatkan asuhan yang salah di rumah seperti kerap merasa khawatir dan tidak termotivasi karena orangtua di rumah sangat galak, suka mukul, membuat mereka akhirnya sedih, terancam, dan takut. Pun ketika di sekolah mendapatkan perlakuan yang sama, anak-anak ini akan berkembang menjadi pribadi Neurosis," kata Dr Ratna Megawangi, M.SC ditulis Health Liputan6.com pada Rabu (2/7/2014)
Dalam talkshow bertema `Misi Pahlawan Cilik Pepsodent`, Pendiri Indonesian Heritage Foundation (Yayasan Warisan Luhur Nusantara) ini menjelaskan, akar dari terbentuknya sosok Neurosis karena orangtua yang tidak mengetahui bagaimana cara menjadi sosok pengayom untuk buah hatinya.
"Ini yang dinamakan bad parenting. Seringkali orangtua justru mendidi anak-anaknya dengan kekerasan dan penuh amarah. Akibatnya, anak-anak merasa takut dan khawatir, dan tubuhnya mengeluarkan zat-zat atau hormon adrenalin yang membuat pertumbuhan dan perkembangan emosional seorang anak menjadi tidak sehat," kata dia menambahkan.
Bila kondisi ini dibiarkan terus menerus, akan membuat seorang anak menjadi sosok yang sama persis seperti apa yang diajarkan orangtuanya. "Dia akan menjadi sosok yang emosional juga. Karena mereka belajar dari orangtua. Dan mereka berperilaku dari apa yang dipelajari dari orangtuanya di rumah," kata Ratna menjelaskan.
Selain orangtua, akar lain yang menyebabkan anak menjadi sosok Neurosis adalah sekolah. Terlebih saat ini, banyak sekolah yang justru membuat anak menjadi rendah diri, merasa takut dan khawatir, dan merasa diri mereka seperti di penjara. Padahal secara filosopi dan arti dari sekolah itu sendiri adalah tempat untuk bersenang-senang. Namun kenyataannya, bersenang-senang itu tidak didapat oleh anak-anak di sekolah.
"Apakah sekarang sekolah menjadi tempat yang menyenangkan? Atau justru menakutkan? Apakah gurunya menjadi idola yang selalu dirindukan? Enggak, kan? Kondisi seperti ini membuat anak menjadi sulit untuk melampiaskan apa yang hendak mereka katakan. Terlebih ketika di rumah, mereka kembali mendapat tekanan dari orangtua," kata Ratna menambahkan.
Saat anak merasa tertekan di sekolah, lanjut Ratna, jarang sekali para orangtua langsung menempatkan dirinya menjadi sosok yang mampu menenangkan hati anak-anaknya. Tak jarang, orangtua justru menambah drop anak-anaknya.
"Orangtua itu tempat berlabuh dan curhat anak-anaknya. Tapi sayangnya, orangtua sekarang langsung cek tas anak begitu anak pulang, melihat berapa nilai yang didapat anaknya, lalu membandingkan nilai anak dengan nilai teman si anak yang jauh lebih tinggi. Akhirnya, hal-hal seperti itulah yang membuat anak menjadi pribadi yang memiliki sifat Neurosis," kata dia menekankan.
"Ketika seorang anak mendapatkan asuhan yang salah di rumah seperti kerap merasa khawatir dan tidak termotivasi karena orangtua di rumah sangat galak, suka mukul, membuat mereka akhirnya sedih, terancam, dan takut. Pun ketika di sekolah mendapatkan perlakuan yang sama, anak-anak ini akan berkembang menjadi pribadi Neurosis," kata Dr Ratna Megawangi, M.SC ditulis Health Liputan6.com pada Rabu (2/7/2014)
Dalam talkshow bertema `Misi Pahlawan Cilik Pepsodent`, Pendiri Indonesian Heritage Foundation (Yayasan Warisan Luhur Nusantara) ini menjelaskan, akar dari terbentuknya sosok Neurosis karena orangtua yang tidak mengetahui bagaimana cara menjadi sosok pengayom untuk buah hatinya.
"Ini yang dinamakan bad parenting. Seringkali orangtua justru mendidi anak-anaknya dengan kekerasan dan penuh amarah. Akibatnya, anak-anak merasa takut dan khawatir, dan tubuhnya mengeluarkan zat-zat atau hormon adrenalin yang membuat pertumbuhan dan perkembangan emosional seorang anak menjadi tidak sehat," kata dia menambahkan.
Bila kondisi ini dibiarkan terus menerus, akan membuat seorang anak menjadi sosok yang sama persis seperti apa yang diajarkan orangtuanya. "Dia akan menjadi sosok yang emosional juga. Karena mereka belajar dari orangtua. Dan mereka berperilaku dari apa yang dipelajari dari orangtuanya di rumah," kata Ratna menjelaskan.
Selain orangtua, akar lain yang menyebabkan anak menjadi sosok Neurosis adalah sekolah. Terlebih saat ini, banyak sekolah yang justru membuat anak menjadi rendah diri, merasa takut dan khawatir, dan merasa diri mereka seperti di penjara. Padahal secara filosopi dan arti dari sekolah itu sendiri adalah tempat untuk bersenang-senang. Namun kenyataannya, bersenang-senang itu tidak didapat oleh anak-anak di sekolah.
"Apakah sekarang sekolah menjadi tempat yang menyenangkan? Atau justru menakutkan? Apakah gurunya menjadi idola yang selalu dirindukan? Enggak, kan? Kondisi seperti ini membuat anak menjadi sulit untuk melampiaskan apa yang hendak mereka katakan. Terlebih ketika di rumah, mereka kembali mendapat tekanan dari orangtua," kata Ratna menambahkan.
Saat anak merasa tertekan di sekolah, lanjut Ratna, jarang sekali para orangtua langsung menempatkan dirinya menjadi sosok yang mampu menenangkan hati anak-anaknya. Tak jarang, orangtua justru menambah drop anak-anaknya.
"Orangtua itu tempat berlabuh dan curhat anak-anaknya. Tapi sayangnya, orangtua sekarang langsung cek tas anak begitu anak pulang, melihat berapa nilai yang didapat anaknya, lalu membandingkan nilai anak dengan nilai teman si anak yang jauh lebih tinggi. Akhirnya, hal-hal seperti itulah yang membuat anak menjadi pribadi yang memiliki sifat Neurosis," kata dia menekankan.
(Gabriel Abdi Susanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar